BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Disiplin
biologi yang ditujukan untuk mempelajari jamur ini dikenal sebagai ilmu jamur,
yang sering dianggap sebagai cabang botani, meskipun penelitian genetik
menunjukkan bahwa jamur yang lebih dekat dengan binatang daripada tumbuhan.
Berlimpah di seluruh dunia, kebanyakan fungi tidak mencolok karena ukuran kecil
struktur mereka, dan mereka samar gaya hidup di tanah, pada benda mati, dan
sebagai symbionts tanaman, hewan, atau jamur lain. Mereka mungkin menjadi
terlihat ketika berbuah, baik sebagai jamur atau cetakan. Jamur melakukan suatu
peran penting dalam dekomposisi materi organik dan memiliki peran penting dalam
siklus hara dan pertukaran. . Mereka telah lama digunakan sebagai sumber
makanan langsung, seperti jamur dan cendawan, sebagai ragi roti agen, dan di
fermentasi berbagai produk makanan, seperti anggur, bir, dan kecap.. Sejak
tahun 1940-an, jamur telah digunakan untuk produksi antibiotik, dan, baru-baru
ini, berbagai enzim yang diproduksi oleh jamur digunakan industri dan
deterjen.. Jamur juga digunakan sebagai agen biologi untuk mengendalikan gulma
dan hama. Banyak spesies menghasilkan bioaktif senyawa yang disebut mycotoxins,
seperti alkaloid dan polyketides, yang beracun untuk hewan termasuk manusia.
Struktur yang berbuah beberapa spesies mengandung psikotropika senyawa dan
dikonsumsi recreationally atau tradisional upacara spiritual. Jamur dapat
mematahkan dibuat bahan dan bangunan, dan menjadi signifikan patogen manusia
dan hewan lainnya. Kerugian tanaman akibat jamur penyakit (misalnya penyakit
ledakan beras) atau makanan busuk dapat memiliki dampak besar manusia pasokan
makanan dan ekonomi lokal. Kerajaan jamur meliputi keragaman besar taksa dengan
bervariasi ekologi, siklus hidup strategi, dan morfologi mulai dari perairan
bersel tunggal chytrids jamur besar. Namun, sedikit yang diketahui tentang
benar keanekaragaman hayati dari Kerajaan Jamur, yang telah diperkirakan
sekitar 1,5 juta spesies, dengan sekitar 5% dari ini telah secara resmi diklasifikasikan.
Perintis
sejak 18 dan abad ke-19 taxonomical karya Carl Linnaeus, Hendrik Kristen
persoon, dan Elias Magnus Fries, jamur telah diklasifikasikan menurut morfologi
(misalnya, karakteristik seperti warna atau mikroskopis spora fitur) atau
fisiologi. Kemajuan dalam genetika molekuler telah membuka jalan bagi analisis
DNA untuk dimasukkan ke dalam taksonomi, yang kadang-kadang menantang sejarah
pengelompokan berdasarkan morfologi dan sifat-sifat lainnya. Filogenetik
penelitian yang diterbitkan dalam dekade terakhir telah membantu membentuk kembali
klasifikasi Kerajaan Jamur, yang terbagi menjadi satu Subkerajaan, tujuh filum,
dan sepuluh Subfilum.
Jamur
memiliki sel yang eukariotik, mempunyai dinding sel kaku yang mengandung kitin
dan juga polisakarida, dan membran selnya terdiri dari ergosterol. Insiden
penyakit infeksi jamur meningkat pada sejumlah individu dengan penekanan imun,
misalnya pada pasien kanker, transplantasi, serta pada penderita AIDS.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
pengertian obat anti jamur?
2.
Apa
macam – macam obat anti jamur?
3.
Bagaimana
cara kerja obat anti jamur?
4.
Bagaimana
dosis penggunaan obat anti jamur?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari obat anti jamur
2.
Untuk
mengetahui macam – macam anti jamur
3.
Untuk
mengetahui cara kerja obat anti jamur
4.
Untuk mengetahui dosis obat anti jamur
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
OBAT ANTI JAMUR
Obat anti jamur adalah senyawa yang digunakan untuk
pengobatan penyakit yang disebabkan
oleh jamur. Sebuah jamur adalah anggota kelompok besar eukariotik organisme
yang meliputi mikroorganisme seperti ragi dan jamur, serta lebih akrab jamur.
Kadang disebt juga Fungi yang diklasifikasikan sebagai sebuah kerajaan yang
terpisah dari tanaman, hewan dan bakteri. Salah satu perbedaan utama adalah
bahwa sel-sel jamur memiliki dinding sel yang mengandung kitin, tidak seperti
dinding sel tumbuhan, yang mengandung selulosa. Ini dan perbedaan lainnya
menunjukkan bahwa jamur membentkelompok satu organisme yang terkait, bernama Eumycota
(benar jamur atau Eumycetes), yang berbagi nenek moyang (a monophyletic group).
Kelompok jamur ini berbeda dari yang secara struktural mirip jamur lendir
(myxomycetes) dan jamur air.
B.
MACAM – MACAM OBAT ANTI JAMUR
1.
ANTI JAMUR UNTUK INFEKSI SISTEMIK & SUBKUTANEUS
A. amfoterisin B
•
Asal
dan kimia
Amfoterisin
A dan B merupakan hasil fermentasi Streptomyces
nodosus. 98 % campuran ini terdiri dari amfoterisin B yang mempunyai aktivitas antijamur. Kristal seperti jarum atau
prisma berwarna kuning jingga, tidak berbau dan tidak berasa ini merupakan
antibiotik polien yang bersifat basa amfoter lemah, tidak larut dalam air,
tidak stabil, tidak tahan suhu diatas 37°C tetapi dapat bertahan sampai
berminggu-minggu pada suhu 4°C.
•
Aktivitas
anti jamur
Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh
dan sel matang. Aktivitas anti jamur nyata pada pH 6,0-7,5: berkurang pada pH
yang lebihrendah. Antibiotik ini bersifat fungistatik atau fungisidal
tergantung pada dosis dan sensitivitas jamur yang dipengaruhi. Dengan kadar
0,3-1,0 µg/mL antibiotik ini dapat menghambat aktivitas Histoplasma capsulaium, Cryptococcus neoformans, Coccidioides
immitis, dan beberapa spesies Candida,
Tondopsis glabrata, Rhodotorula, Blastomyces dermatitidis, Paracoccidioides
braziliensis,beberapa spesies Aspergillus, Sporotrichum
schenckii,Microsporum audiouini dan spesies Trichophyton. Secara in
vitro bila rifampisin atau minosiklin diberikan bersama amfoterisin B
terjadi sinergisme terhadap beberapa jamur tertentu.
•
Mekanisme
kerja
Amfoterisin
B berikatan kuat dengan ergosterol yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan
ini akan menyebabkan membran sel bocor sehinggaterjadi kehilangan beberapa
bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap pada sel.
Bakteri,
virus dan riketsia tidak dipengaruhi oleh antibiotik ini karena jasad renik ini
tidak mempunyai gugus sterol pada membran selnya. Pengikatan kolesterol pada
sel hewan dan manusia oleh antibiotic ini diduga merupakan salah satu penyebab
efek toksiknya. Resistensi terhadap amfoterisin B ini mungkin disebabkan
terjadinya perubahan reseptor sterol pada membran sel.
b. flutosin
•
Asal
dan kimia.
Flusitosin
(5-fluorositosin; 5FC) merupakan antijamur sintetik yang berasal dari
fluorinasi pirimidin, dan mempunyai persamaan struktur dengan fluorourasil dan
floksuridin. Obat ini berbentuk kristal putih tidak berbau, sedikit larut dalam
air tapi mudah larut dalam alkohol.
•
Aktivitas
anti jamur
Spektrum
antijamur flusitosin agak sempit. Obat ini efektif untuk pengobatan
kriptokokosis, kandidiasis, kromomikosis, torulopsis dan aspergilosis. Cryptococcus dan Candida dapat menjadi resisten selama pengobatan dengan
flusitosin. 40 – 50% Candida sudah
resisten sejak semula pada kadar100 µg/mL flusitosin. Infeksi saluran kemih
bagian bawah oleh Candida yang
sensitif dapat diobati dengan flusitosin saja karena kadar obat ini dalam urin
sangat tinggi. Invitro pemberian
flusitosin bersama amfoterisin B akan menghasilkan efek supraaditif terhadap C. neoformans, C. tropicalis dan C. albicans yang sensitif.
•
Mekanisme
kerja
Flusitosin
masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminase dan dalam sitoplasma
akan bergabung dengan RNA setelah mengalami deaminasi menjadi 5-fluorourasil
dan fosforilasi. Sintesis protein sel jamur terganggu akibat penghambatan
Iangsung sintesis DNA oleh metabolit fluorourasil. Keadaan initidak terjadi
pada sel mamalia karena dalam tubuh mamalia flusitosin tidak diubah menjadi
fluorourasil.
c. imidazol dan triazol
terbagi menjadi :
ketokonazol
•
asal
dan kimia
Ketokonazol
merupakan turunan imidazol sintetik dengan struktur mirip mikonazol dan
klotrimazol. Obat ini bersifat liofilik dan larut dalam air pada pH asam.
•
Aktivitas
anti jamur
Ketokonazol
aktif sebagai antijamur baik sistemik maupun nonsistemik efektif terhadap Candida, Coccidioides immitis,
Cryptococcus neoformans, H. capsulatum, B. dermatitidis, Aspergillusdan Sporothrix spp.
Itrakonazol
Antijamur
sistemik turunan triazol ini erat hubungannya dengan ketokonazol. Obat ini
dapat diberikan per oral dan IV. Aktivitas antijamurnya lebih lebar sedangkan
efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan dengan ketokonazol.
Itrakonazol diserap lebih sempuma melalui saluran cerna bila diberikan bersama
makanan. Itrakonazol, seperti golongan azol lainnya, juga berinteraksi dengan
enzim mikrosom hati, tetapi tidak sebanyak ketokonazol. Rifampisin akan
mengurarangi kadar plasma itrakonazol.
Itrakonazol memberikan hasil
memuaskan untuk indikasi yang sama dengan ketokonazol antara lain terhadap
blastomikosis, histoplasmosis, koksidioidomikosis,sariawan pada mulut dan
tenggorokan serta tinea versikolor. Berbeda dari ketokonazol, itrakonazol juga
memberikan efek terapi terhadap aspergilosis di luar SSP.
Itrakonazol
suspensi diberikan dalam keadaan lambung kosong dengan dosis dua kali 100 mg
sehari, dan sebaiknya dikumur dahulu sebelum ditelan untuk meng-optimalkan efek
topikalnya. Lamanya pengobatan biasanya 2-4 minggu. Itrakonazol IV diberikan
untuk infeksi berat melalui infus dengan dosis muat dua kali 200 mg sehari, diikuti
satu kali 200 mg sehari selama 12 hari. Infus diberikan dalam waktu satu jam.
flukonazol
Ini
adalah suatu fluorinated bis-triazol dengan
khasiat farmakologis yang baru. Obat ini diserap sempurna melalul saluran cerna
tanpa dipengaruhi adanya makanan ataupun keasaman lambung. Kadar plasma setelah
pemberian per oral sama dengan kadar plasma setelah pemberian IV. Flukonazol
tersebar rata ke dalam cairan tubuh juga dalam sputum. Gangguan saluran cema
merupakan efek samping yang paling banyak ditemukan. Pada pasien AIDS ditemukan
urtikaria, eosinofilia, sindrome Stevens-Johnson, gangguan fungsi hati yang
tersembunyi dan trombositopenia. Flukonazol berguna untuk mencegah relaps
meningitis yang
disebabkan
oleh Cryptococcus pada pasien
AIDS setelah pengobatan dengan amfoterisin B. Juga efektif untuk pengobatan
kandidiasis mulut dan tenggorokan pada pasien AIDS.
vorikonazol
Obat
ini adalah antijamur baru golongan triazol yang diindikasika, untuk
aspergiiosis sistemik dan Infeksi jamur berat yang disebabkan oleh Scedosporium apiosperrnun dan
Fusarium sp. Obat ini juga mempunyai
efektivitas yang baik terhadap Candida
sp,Cryptococcus sp dan Dermatophyte
sp, termasuk untuk infeksi kandida yang resisten terhadap flukonazol.
Farmakokinetik obat ini tidak linier akibat terjadinya saturasi metabolisme.
Pengobatan yang dimulai dengan pemberian IV ini, secepatnya harus dialihkan ke
pemberian oral. Dosis muat oral untuk pasien dengan berat badan > 40 kg
ialah 400mg dan untuk pasien yang beratnya < 40 kg diberikan 200 mg. Dosis
muat oral juga diberikan hanya 2 kali dengan interval 12 jam. Pengobatan lalu
dilanjutkandengan pemberian oral 200 mg tiap 12 jam bagi pasien dengan berat
badan > 40 kg.Untuk pasien dengan berat badan kurang dari 40 kg
diberikan dosis pemeliharaan 2 kali 100 mg sehari.
d. kasfopungin
Kaspofungin
adalah anti jamur sistemik dari suatu kelas baru yang disebut ekinokandin. Obat
ini bekerja dengan menghambat sintesis beta (1,3)-Dglukan, suatu komponen
esensial yang membentuk dinding sel jamur. Dalam darah 97% obat
terikat protein dan masa paruh eliminasinya 9-11 jam.Obat ini dimetabolisme
secara lambat dengan cara hidrolisis dan asetilasi.Ekskresinya melalui urin
hanya sedikit sekali.
Kaspofungin diindikasikan untuk
infeksi jamur sebagai berikut:
•
Kandidiasis
invasif, termasuk kandidemia pada pasien neutropenia atau non-neutropenia.
•
Kandidiasis
esofagus.
•
Kandidiasis
orofarings.
•
Aspergilosis
invasif yang sudah refrakter terhadap antijamur lainnya.
Pengobatan
umumnya diberikan selama 14 hari. Keamanan obat ini belum diketahui pada wanita
hamil dan anak berumur kurang dari 18 tahun.
e. terbinafin
•
Asal
dan kimia
Terbinafin
merupakan suatu derivat alilamin sintetik dengan struktur mirip naftitin. Obat
ini digunakan untuk terapi dermatofitosis, terutama onikomikosis. Namun, pada
pengobatan kandidiasis kutaneus dan tinea versikolor terbinafin biasanya
dikombinasikan dengan golongan imidazol atau triazol karena penggunaannya
sebagai monoterapi kurang efektif.
•
farmakokinetik
Terbinafin
diserap baik melalui saluran cerna, tetapi bioavailabilitasnya menurun hingga
40% karena mengalami metabolisme lintas pertama di hati. Obat ini terikat dengan
protein plasma lebih dari 99% dan terakumulasi di kulit, kuku dan jaringan
lemak. Waktu paruh awalnya adalah sekitar 12 jam dan berkisar antara 200 sampai
400 jam bila telah mencapai kadar mantap. Obat ini masih dapat ditemukan dalam
plasma hingga 4-8 minggu setelah pengobatan yang lama. Terbinafin dimetabolisme
di hati menjadi metabolit yang tidak aktif dan diekskresikan di urin.
Terbinafin tidak di indikasikan untuk pasien azotemia atau gagal hati karena
dapat terjadi peningkatan kadar terbinafin yang sulit diperkirakan.
v Pengobatan
infeksi jamur sistemik
Infeksi
oleh jamur patogen yang terinhalasi dapat sembuh spontan. Histoplasmosis,
koksidioidomikosis, blastomikosis dan kriptokokosis pada paru yang sehat tidak
membutuhkan pengobatan. Kemoterapi baru dibutuhkan bila ditemukan pneumonia
yang berat, infeksi cenderung menjadi kronis, atau bila disangsikan terjadi
penyebaran atau adanya resiko penyakit akan menjadi lebih parah. Pasien AIDS
atau pasien penyakit imunosupresi lain biasanya membutuhkan kemoterapi untuk
mengatasi pneumonia karena jamur atau oleh sebab lain.
•
Aspergilosis
Invasi
aspergilosis paru sering terjadi pada pasien penyakit imunosupresi yang berat
dan tidak memberi respons yang memuaskan terhadap pengobatan dengan antijamur.
Obat pilihan adalah amfoterisin B IV dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg BB setiap hari
dalam infus lambat. Untuk infeksi berat, dosis dapat ditingkatkan sampai dua
kalinya. Bila penyakit progresif, dosis obat dapat ditingkatkan.
•
Blastomikosis
Obat
terpilih untuk kasus ini adalah ketokonazol per oral 400 mg sehari selama 6 –
12 bulan. Itrakonazol juga efektif dengan dosis 200 – 400 mg sekali sehari pada
beberapa kasus. Amfoterisin B dicadangkan untuk pasien yang tidak dapat
menerima ketokonazol, infeksinya sangat progresif atau infeksi menyerang SSP.
Dosis yang dianjurkan 0,4 mg/kgBB/hari selama 10 minggu. Kadangkala dibutuhkan
tindakan operatif untuk mengalirkan nanah dari sekitar lesi.
•
Kandidiasis
Kateterisasi
ataupun manipulasi instrument lain dapat memperburuk kandidiasis. Bila invasi
tidak mengenai parenkim ginjal pengobatan cukup dengan amfoterisin B 50 µg/mL
dalam air steril selama 5 – 7 hari. Bila ada kelainan parenkim ginjal, pasien
harus diobati dengan amfoterisin B IV seperti mengobati kandidiasisberat pada
organ lain.
•
Koksidioidomikosis.
Ditemukannya
kavitas tunggal di paru atau adanya infiltrasifibrokavitas yang tidak responsif
terkadap kemoterapi merupakan ciri yang khas dari penyakit kronis
koksidioidomikosis; yang membutuhkan tindakan reseksi. Bila terdapat penyebaran
ekstrapulmonar, amfoterisin B IV bermanfaat untuk penyakit berat ini, juga pada
pasien dengan penyakit imunosupresi dan AIDS. Ketokonazol diberikan untuk
terapi supresi jangka panjang terhadap lesi kulit, tulang dan jaringan lunak
pada pasien dengan fungsi imunologik normal. Hasil serupa juga dapat dicapai
dengan pemberian itrakonazol 200-400 mg sekali sehari. Untuk meningitis yang
disebabkan oleh Coccidioides obat
terpilih ialah amfoterisin B yang diberikan secara intratekal.
•
Kriptokokosis.
Obat terpilih adalah amfoterisin B IV dengan
dosis 0,4-0,5mg/kgBB/hari. Pengobatan dilanjutkan sampai hasil pemeriksaan
kultur negatif. Penambahan flusitosin dapat mengurangi pemakaian amfoterisin B
menjadi 0,3mg/kgBB/hari. Di samping penyebarannya yang lebih baik ke dalam
jaringan sakit,flusitosin diduga bekerja aditif terhadap amfoterisin sehingga
dosis amfoterisin B dapat dikurangi dan dapat mengurangi terjadinya resistensi
terhadap flusitosin. Flukonazol banyak digunakan untuk terapi supresi pada
pasien AIDS.
•
Histoplasmosis.
Pasien
dengan histoplasmosis paru kronis sebagian besar dapat diobati dengan
ketokonazol 400 mg per hari selama 6-12 bulan. Itrakonazol 200-400mg sekali
sehari juga cukup efektif. Amfoterisin B IV juga dapat diberikan selama 10
minggu. Untuk mencegah kekambuhan penyebaran histoplasmosis pada pasien AIDS
yang sudah diobati dengan ketokonazol dapat ditambahkan pemberian amfoterisin B
IVsekali seminggu.
•
Mukormikosis.
Amfoterisin
B merupakan obat pilihan untuk mukormikosis paru kronis. Mukormikosis
kraniofasial juga diberikan amfoterisin B IV di samping melakukan debri dement dan kontrol diabetes
melitus yang sering menyertainya.
•
Parakoksidioidomikosis.
Ketokonazol 400 mg per hari
merupakan obat pilihan yang diberikan selama 6-12 bulan. Pada keadaan yang
berat dapat ditambahkan amfoterisin B.
2. ANTI
JAMUR UNTUK INFEKSI SUPERFISIALIS
a. Griseofulvin
·
Asal
dan kimia.
Griseofulvin
diisolasi dari Penicillium
griseovulyum dierckx. Pada tahun 1946, Brian dkk. menemukan bahan yang
menyebabkan susut dan mengecilnya hifa yang disebut sebagai curling factor kemudian temyata diketahui bahwa bahan
yang mereka isolasi dari Penicillin
janczewski adalah griseofulvin.
•
Aktivitas
anti jamur.
Griseofulvin in vitro efektif terhadap
berbagai jenis jamur dermatofit seperti Trichophyton,
Epidermophyton dan Microsporum. Terhadap
sel muda yang sedang berkembang griseofulvin bersifat fungisidal. Obat ini
tidak efektif terhadap bakteri, jamur lain dan ragi, Actinomyces dan Nocardia.
Waktu
paruh obat ini kira-kira 24 jam, 50% dari dosis oral yang diberikan bersama
urin dalam bentuk metabolit selama 5 hari. Kulit yang sakit mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap obat ini. Obat ini akan dihimpun dalam sel
pembentuk keratin, lalu muncul bersama sel yang baru berdiferensiasi, terikat
kuat dengan keratin sehingga sel baru ini akan resisten terhadap serangan
jamur. Kreatin yang mengandung jamur akan terkelupas dan diganti oleh sel yang
normal. Antibiotik ini dapat ditemukan dalam lapisan tanduk 4-8 jam setelah
pemberian oral. Keringat dan hilangnya cairan transepidermal memegang peranan
penting dalam penyebaran obat ini pada stratum korneum. Kadar yang ditemukan
dalam cairan dan jaringan tubuh lainnya kecil sekali.
b.imidazol dan triazol
Antijamur
golongan imidazol mempunyai spektrum yang luas. Karena sifat dan penggunaannya
praktis tidak berbeda, maka hanya mikonazol dan klotrimazol yang akan dibahas.
Ketokonazol yang juga termasuk golongan imidazol telah dibahas padapembicaraan
mengenai antijamur untuk infeksi sistemik, juga itrakonazol (golongan triazol).
Resistensi terhadap imidazol dan triazol sangat jarang terjadi dari jamur
penyebab dermatofitosis, tetapi dari jamur kandida paling sering terjadi.
c.mikonazol
•
Asal
dan kimia.
Mikonazol
merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif stabil, mempunyai spektrum
antijamur yang lebar terhadap jamur dermatofit. Obat ini berbentuk kristal
putih, tidak bewama dan tidak berbau, sebagian kecil larut dalam air tapi lebih
larut dalam pelarut organik.
•
Aktivitas
antijamur.
Mikonazol
menghambat aktivitas jamur Trichophyton,
Epidermophyton, Microsporum, Candida dan Malassezia
furfur.Mikonazol in vitro efektif
terhadap beberapa kuman Gram positif. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui
sepenuhnya. Mikonazol masuk kedalam sel jamur dan menyebabkan kerusakan dinding
sel sehingga permeabilitas terhadap berbagai zat intrasel meningkat. Mungkin
pula terjadi gangguan sintesis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel
jamur yang akan menyebabkan kerusakan. Obat yang sudah menembus ke dalam lapisan
tanduk kulit akan menetap di sana sampai 4 hari.
Mikonazol
topikal diindikasikan untuk dermatofitosis, tinea versikolor dan kandidiasis
mukokutan. Untuk dermatofitosis sedang atau berat yang mengenai kulit kepala,
telapak dan kuku sebaiknya dipakai griseofulvin.
d.klotrimazol
Klotrimazol
berbentuk bubuk tidak berwarna yang praktis tidak larut dalam air, larut dalam
alkohol dan kloroform, sedikit larut dalam eter. Klotrimazol mempunyai efek
antijamur dan antibakteri dengan mekanisme kerja mirip mikonazol dan secara
topikal digunakan untuk pengobatan tinea pedis, kruris dan korporis yang
disebabkan olehT. rubrum, T.
mentagrophytes, E.floccosum dan M.
canis dan untuk tinea versikolor. Juga untuk infeksi kulit dan
vulvovaginitis yang disebabkan oleh C.
albicans.
f.tolnaftat dan tolsiklat
•
Tolnaftat.
Tolnaftat
adalah suatu tiokarbamat yang efektif untuk pengobatan sebagian besar
dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida.
•
Tolsiklat.
Tolsiklat
merupakan antijamur topikal yang diturunkan dari tiokarbamat. Namun karena
spektrumnya yang sempit, antijamur ini tidak banyak digunakan lagi.
g. Nistatin
•
Asal
dan kimia.
Nistatin
merupakan suatu antibiotik polien yang dihasilkan oleh Streptomyces noursei. Obat yang berupa bubuk wama kuning
kemerahan ini bersifat higroskopis, berbau khas, sukar larut dalam kloroform
dan eter. Larutannya mudah terurai dalam air atau plasma. Sekalipun nistatin
mempunyai struktur kimia dan mekanisme kerja mirip dengan amfoterisin B,
nistatin lebih toksik sehingga tidak digunakan sebagai obat sistemik. Nistatin
tidak diserap melalui saluran cema, kulit maupun vagina.
•
Aktivitas
antijamur.
Nistatin menghambat pertumbuhan berbagai jamur
dan ragi tetapi tidak aktif terhadap bakteri, protozoa dan virus.
•
Mekanisme
kerja.
Nistatin hanya akan diikat oleh jamur atau
ragi yang sensitif. Aktivitas antijamur tergantung dari adanya ikatan dengan
sterol pada membran sel jamur atau ragi terutama sekali ergosterol. Akibat
terbentuknya ikatan antara sterol dengan antibiotik ini akan terjadi perubahan
permeabilitas membran sel sehingga sel akan kehilangan berbagai molekul kecil. Candida albicans hampir tidak
memperlihatkan resistensti terhadap nistatin, tetapi C. tropicalis,. C. guillermondi dan C. stellatiodes mulai resisten. bahkan sekaligus menjadi
tidak sensitif terhadap amfoterisin B. namun resistensi ini biasanya tidak
terjadi in vivo.
3.ANTI JAMUR TOPIKAL LAINNYA
a. Asam
benzoat dan asam salisilat
Kombinasi
asam benzoat dan asam salisilat dalam perbandingannya 2 : 1(biasanya 6% dan 3%)
ini dikenal sebagai salepWhitfield. Asam benzoat memberikan efek fungi statik
sedangkan asam Salisilat memberikan efek keratolitik. Karena asam ben-zoat
hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru tercapai setelah lapisan
tanduk yang menderita infeksi terkelupas seluruhnya, sehingga pemakaian obat
ini membutuhkan waktu beberapa minggu sampai bulanan. Salep ini banyak
digunakan untuk pengobatan tinea pedis dan kadang-kadang juga untuk tinea
kapitis. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga ada keluhan
kurang menyenangkan dari para pemakainya karena salep ini berlemak.
b. Asam
undesilenat
Asam
undesilenat merupakan cairan kuning dengan bau khas yang tajam. Dosis biasa
dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan
pemakaian yang lama dapat memberikan efek fungisidal. Dalam hal ini seng
berperan untuk menekan luasnya peradangan. Obat ini dapat menghambat
pertumbuhan jamur pada tinea pedis, tetapi efektivitasnya tidak sebaik
mikonazol, haloprogin atau tolnaftat.
c. Haloprogin
Haloprogin
merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk kristal putih kekuningan, sukar
larut dalam air tetapi larut dalam alkohol. Obat ini bersifat fungisidal
terhadap Epidermophyton,
Trichophyton, Miciosporum dan Malassezia
furfur. Haloprogin sedikit sekali diserap melalui kulit, dalam tubuh akan
terurai menjadi triklorofenol. Selama pemakaian obat ini dapat timbul iritasi
lokal, rasa terbakar, vesikel, meluasnya maserasi dan sensitisasi. Sensitisasi
mungkin merupakan pertanda cepatnya respons pengobatan sebab toksin yang
dilepaskan kadang-kadang memperburuk lesi. Di samping itu obat ini juga
digunakan untuk tinea versikolor.
d. Siklopiroks
olamin
Obat
ini merupakan antijamur topikal berspektrum luas. Penggunaan kliniknya ialah
untuk dermatofitosis, kandidiasis dan tinea versikolor. Siklopiroksolamin
tersedia dalam bentuk krim 1% yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi
iritatif dapat terjadi walaupun jarang.
e. Terbinafin
Terbinafin
merupakan suatu derivat alilamin sintetik dengan struktur mirip naftitin. Obat
ini digunakan untuk terapi dermatofitosis, terutama onikomikosis; dan juga
digunakan secara topikal untuk dermatofitosis. Terbinafin topikal tersedia
dalam bentuk krim 1 % dan gel 1%. Terbinafin topikal digunakan untuk pengobatan
tinea kruris dan korporis yang diberikan 1-2 kali sehari selama 1-2 minggu.
Teori,
dosis obat diukur dari Miligram per Kilogram berat badan pasien (mg/kg).
Contoh :
INH (isoniazid) obat TBC (tuberculosis) diberikan kepada anak dengan dosis antara 5-10 mg.
Bila berat badan anak 10 kg, maka dosis berkisar 50-100 mg, atau bisa diambil dosis tengah 75 mg.
Pada praktik, dosis jg ditentukan brdasarkn pertimbangan :
Usia, Kondisi pasien, Riwayat kesehatan pasien & keluarga, Ada obat penyerta, dll.
Contoh :
INH (isoniazid) obat TBC (tuberculosis) diberikan kepada anak dengan dosis antara 5-10 mg.
Bila berat badan anak 10 kg, maka dosis berkisar 50-100 mg, atau bisa diambil dosis tengah 75 mg.
Pada praktik, dosis jg ditentukan brdasarkn pertimbangan :
Usia, Kondisi pasien, Riwayat kesehatan pasien & keluarga, Ada obat penyerta, dll.
a. Keterbatasan & kesalahan takaran
Hal ini biasa terjadi pada jenis obat cair/sirup.
Disebabkan karna tidak ada ukuran tepat pada alat penakar atau pemahaman singkatan takaran dosis yang salah serta pemahaman satuan ukuran dosis yang kurang.
Contoh :
1. Sirup mesti diminum 3 x sehari 0,5 cc.
Namun dlm pipet takaran tidak tercantum ukuran tersebut.
Atau dipipet yg tertulis malah 2,5 ml & 5 ml
2. Obat diminum 1,5 sdt.
Yang salah, "sdt" diartikan sebagai "sendok teh", padahal yang dimaksud adalah "sendok takar".
Walhasil yang terjadi adalah, obat ditakar dengn sendok teh.
Satuan takar "cc" (centimeter cubic) = "ml" (mililiter).
Jadi bila dalam resep tertulis 5 cc = 5ml.
Solusi terbaik untuk alat takar obat cair adalah Gelas Takar, yang memiliki ukuran takar dari 2,5 ml - 10 ml.
Sebab, sendok takar sirup hanya memiliki 2 ukuran, yaitu 2,5 ml & 5 ml
Sebagai alat takar obat cair, Pipet memiliki ukuran sndiri - sendiri.
1. Ukuran pd Pipet sirop vitamin =
0,3 ml - 0,6 ml.
2. Ukuran pd Pipet obat penurun panas =
0,4 ml - 0,8 ml
3. Ukuran pd Pipet obat anti jamur =
0,5 ml - 1 ml
Apotik wajib mmberikan pipet sesuai dgn dosis obat yg diresepkan dokter agar bs dipakai kalangan awam.
Jika ukuran pipet tdk sesuai, boleh ditukar.
b. Dampak salah takar
- Bila takaran dosis kurang
1. Penderita lama sembuh. Kalaupun sembuh hanya smentara
2. Biasa kuman penyakit dalam tubuh menjadi lebih kuat
- Bila takaran dosis brlebihan
Bila yang dikonsumsi adalah obat keras, keadaan ginjal & lever terganggu/tidak sehat akan menyebabkan keracunan dan over dosis; karna obat tersebut tidak bisa dinetralkan oleh ginjal & lever
Teori dosis obat diukur dr Miligram per Kilogram berat badan pasien (mg/kg).
BAB
III
PENUTUP
•
Kesimpulan
Kandidiasis adalah penyakit jamur
(ragi) yang sangat umum. Jamur ini biasa hidup dalam tubuh. Jamur tersebut
tidak dapat diberantas. Cara terbaik untuk menghindari terjadinya kandidiasis
adalah dengan memperkuat sistem kekebalan tubuh melalui penggunaan terapi
antiretroviral.
Sebagian besar penyakit kandidiasis dapat diobati secara mudah dengan terapi lokal. Pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, penyakit ini menjadi lebih sering terjadi. Obat-obatan antijamur sistemik dapat dipakai, tetapi kandida mungkin menjadi resistan terhadapnya. Obat anti-jamur yang paling manjur, amfoterisin B, dapat menimbulkan efek samping yang parah.
Beberapa terapi alam tampaknya memberi manfaat untuk mengendalikan infeksi kandida.
Sebagian besar penyakit kandidiasis dapat diobati secara mudah dengan terapi lokal. Pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, penyakit ini menjadi lebih sering terjadi. Obat-obatan antijamur sistemik dapat dipakai, tetapi kandida mungkin menjadi resistan terhadapnya. Obat anti-jamur yang paling manjur, amfoterisin B, dapat menimbulkan efek samping yang parah.
Beberapa terapi alam tampaknya memberi manfaat untuk mengendalikan infeksi kandida.
DAFTAR
PUSTAKA
American
Medical Association. Drug Evaluation
Annual 1995. P.1644-56
Maschmeyer G. New antifungal agents-treatment standards are beginning to grow old
Journal of Antimicrobial Chemotherapy
2002;49:239-41.
Pappas PG, Rex JH, Sobel JD, et al. Gudelines for the treatment of candidiasis.
Clin Infect Dis 2004;38:161-89.
Evelyn R, Hayes. 1996. Alih Bahasa: Farmakologi Pendekatan Proses Perawatan,Jakarta:
EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar