BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Herpes Simpleks
Virus (veneral disease) termasuk dalam penyakit kelamin yang sudah lama
di kenal. Infeksi virus Herpes simplex genitalis tercatat
meningkat terus sejak pertengahan 1960 sampai awal era epidemik AIDS. Laporan
tahunan di AS meningkat pada tahun 1966 tercatat 300.000 menjadi lebih dari
450.000 kasus pada tahun 1985, kemudian menurun sedikit pada tahun 1987.
Demikian juga penemuan kasus baru tahun 1966 sebesar 18.000 meningkat 8,8 kali
lipat menjadi 157.000 pada tahun 1984, kemudian menurun mulai tahun 1987.
Berdasar kan analisis antibodi didapatkan kesimpulan bahwa :
·
Infeksi herpes genital simptomatik hanya sedikit bila dibandingkan dengan
seluruh jumlah kasus herpes.
·
Wanita cenderung lebih banyak terserang HSV-2 (Herpes Simpleks Virus)
dibandingkan pria.
·
Prevalensi antibodi HSV-2 lebih tiggi pada kulit berwarna dibandingkan
kulit putih.
·
Prevalensi HSV-2 (+) lebih banyak dijumpai pada kelas ekonomi sosial
rendah.
Insiden Herpes neonatal
meningkat tajam di beberapa daerah di AS dan diperkirakan lebih dari 15 kasus
per 100.000 kelahiran. Penigkatan insidens tersebut seiring dengan peningkatan
insidens pada ibu hamil. Infeksi herpes pada ibu dapat ditularkan kepada bayi
sehingga dapat mengakibatkan meningitis, ensefalitis, pneumonitis dan
hepatitis. Hal yang penting diperhatikan pada ibu hamil adalah:
·
Hanya 1/3 jumlah ibu dari bayi yang tertular, diketahui mempunyai lesi
herpes sewaktu persalinan.
·
Hanya 1 dari 14 ibu yang menularkan herpes mengaku menderita herpes.
·
Herpes genital primer sewaktu kehamilan mempunyai resiko penularan yang
besar.
·
Herpes genital primer pada trimester ketiga merupakan pembawa (carrier)
dengan resiko penularan yang besar (50%).
Dari 143 wanita hamil dengan
resiko terkena herpes genital, ternyata hanya 2,4% yang positif menularkan
virus pada saat melahirkan. Sedangkan penelitian pada wanita yang datang di
klinik KB dengan pemeriksaan Immunodot assaymenunjukkan hasil
seroprevalensi HSV-2 sebesar 21,6% dan ada hubungan yang bermakna dengan
aktivitas seksual, ras, dan usia. Demikian juga penelitian di Singapura
menunjukkan hubungan antara herpes dengan usia, yaitu insidens puncak
episode awal herpes terjadi pada usia antara 20-29 tahun dan insidens herpes
primer sebesar 68,3% dari 43 penderita yang datang ke klinik RS.
Perubahan pola distribusi
maupun pola perilaku penyakit Herpes Simpleks tersebut di atas tidak terlepas
dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain faktor medis tentunya sangat
dipengaruhi juga oleh faktor-faktor sosial, seperti: Mobilitas penuduk yang
bertambah, Prostitusi, Kebebasan inidvidu(seperti berganti-ganti pasangan
seksual), Ketidaktahuan, Peledakan jumlah penduduk, Kemajuan sosial ekonomi
terutama dalam bidang industri yang menyebabkan lebih banyak kebebasan sosial
maupun kebebasan seks serta perkawinan antar ras/negara yang berbeda.
Oleh karena infeksi herpes
simpleks ini bisa menular kepada bayi yang dikandung oleh ibu yang menderita
penyakit tersebut dan dapat mengakibatkan meningitis, ensefalitis, pneumonitis
dan hepatitis pada bayi yang sedang dikandung, maka penulis bermaksud ingin
mencari solusi dari permasalahan tersebut. Agar angka penyebaran dari penyakit
herpes simpleks atau genital ini bisa sedikit berkurang.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk megetahui bagaimana penyebaran penyakit
kelamin yaitu Herpes Simpleks yang dilihat baik dari aspek medis maupun dari aspek
sosial budaya. Juga untuk mengetahui peran perawat kepada pasien dan mencari
solusi untuk mengurangi penyebarannya.
2. Tujuan Khusus:
a. Untuk
mengidentifikasi definisi, gejala klinis, etiologi, patogenesis, epidomiologi
dari penyakit Herpes Simpleks
b. Untuk
mengidentifikasi penatalaksanaan bagi pasien penderita Herpes Simpleks.
c. Untuk
mengidentifikasi penyebaran penyakit Herpes Simpleks baik dari aspek medis
maupun dari aspek sosial budaya.
d. Untuk
mengidentifikasi dampak bagi pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks
terutama pada kehamilan.
e. Untuk
mengidentifikasi perasaan pasien dari aspek psikologis.
f. Untuk
mengidentifikasi peran perawat dalam menangani pasien yang terserang herpes
g. Untuk
memberi solusi dari permasalahan yang ditimbulkan oleh penyakit herpes
simpleks.
C. Rumusan
Masalah
1. Apa
definisi, gejala klinis, etiologi, patogenesis, epidomiologi dari penyakit
Herpes Simpleks?
2. Bagaimana
penatalaksanaan bagi pasien penderita Herpes Simpleks?
3. Bagaimana
penyebaran penyakit Herpes Simpleks baik dari aspek medis maupun dari aspek
sosial budaya?
4. Apa saja
dampak bagi pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks terutama pada
kehamilan?
5. Bagaimana
perasaan pasien dari aspek psikologis?
6. Apa saja
peran bidan dalam menangani pasien yang terserang herpes Simpleks?
7. Bagaimana
solusi dari permasalahan yang ditimbulkan oleh penyakit herpes simpleks?
D. Manfaat
1. Dapat
mengetahui definisi, gejala klinis, etiologi, patogenesis, epidomiologi dari
penyakit Herpes Simpleks
2. Dapat
mengetahui bagaimana penatalaksanaan bagi pasien penderita Herpes Simpleks.
3. Dapat
mengetahui penyebaran penyakit Herpes Simpleks baik dari aspek medis maupun
dari aspek sosial budaya.
4. Dapat
mengetahui dampak bagi pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks terutama
pada kehamilan.
5. Dapat mengetahui
perasaan pasien dari aspek psikologis.
6. Dapat
mengetahui peran perawat dalam menangani pasien yang terserang herpes
7. Dapat
mengetahui solusi dari permasalahan yang ditimbulkan oleh penyakit herpes
simpleks.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Herpes Simpleks
Herpes genitalis
adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV)
dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema pada
daerah mukotan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun
rekurens.
SINONIM
Fever blister, ciold store, herpes febrilis, herpes
labialis, herpes progenitalis (genitalis)
B. Epidemiologi
Penyakit ini menyebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupin wanita dengan
frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh herpes simpleks virus (HSV)
tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II
biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan
aktivitas seksual.
C. Etiologi
Herpes genitalis
disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) ATAU Herpes Virus
Hominis (HVH), UNNA (1883) yang pertama kali mengetahui bahwa penyakit ini
dapat ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan SHARLITT pada tahun 1940
membedakan antara HSV tipe 1 (HSV-1) dan HSV tipe 2 (HSV-2). Sebagian besar
penyebabnya adalah HSV-2, tetapi walaupun demikian dapat juga disebabkan oleh
HSV-1 (± 16,1%) akibat hubungan kelamin secara urogenital atau penularan
melalui tangan.
Secara serologik, biologik
dan sifat fisikokimia HSV-1 dan HSV-2 sukar dibedakan. Dari penelitian
seroepidemiologik didapat bahwa antibodi HSV-1 sudah terdapat pada anak-anak
sekitar umur 5 tahun, meningkat 70% pada usia remaja dan 97% pada orang tua.
Penelitian seroepidemiologik terhadap antibodi HSV-2 sulit untuk dinilai
berhubung adanya reaksi silang antara respons imun humoral HSV-1 dan HSV-2.
Dari data yang dikumplkan di
WHO dapat diambil kesimpulan bahwa antibodi terhadap HSV-2 rata-rata baru
terbentuk setelah melakukan aktivitas seksual. Pada kelompok remaja didapatkan
kurang dari 30%, pada kelompok wanita di atas umur 40 tahun naik sampai 60%,
dan pada pekerja seks wanita (PSW) ternyata antibodi HSV-2 10 kali lebih tinggi
daripada orang normal.
D. Patogenesis
Bila seseorang
terpajan HSV, maka infeksi dapat berbentuk episode 1 infeksi primer (inisial),
episode 1 non infeksi primer, infeksi rekurens, asimtomatik atau tidak terjadi
infeksi sama sekali. Pada episode 1 infeksi primer, virus yang berasal dari
,luar masuk ke dalam tubuh Hospes. Kemudian terjadi penggabungan dengan DNA
hospes di dalam tubuh hospes tersebut dan mengadakan multiplikasi/replikasi
serta menimbulkan kelainan pada kulit. Pada waktu itu hospes sendiri belum ada
antibodi spesifik, ini bisa mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas
dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya virus menjalar melalui serabut
saraf sensorik ke ganglion saraf regional (ganglion sakralis) dan berdian di
sana serta bersifat laten.
Pada episode I non
infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung tetapi belum menimbulkan gejala
klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga pada waktu terjadinya episode
I ini kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan infeksi primer.
Bila pada suatu
waktu ada faktor pencetus (trigger factor) , virus akan mengalami
reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah infeksi rekurens. Pada
saat ini di dalam tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan
yang timbul dan gejala konstitusinya tidak seberat pada waktu infeksi primer.
Tringger factor tersebut antara lain adalah trauma, koitus yang berlebihan,
demam, gangguan pencernaan, stress, emosi, kelelahan, makanan yang merangsang,
alkohol, obat-obatan (immunosupresif, kortkosteroid), dan pada beberapa kasus
sukar dketahui dengan jelas penyebabnya. Ada beberapa pendapat mengenai
terjadinya infeksi rekurens:
1. Reaksi
pencetus akan mengakibatkan reaktivasi virus dalam ganglion dan virus akan
turun melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang dipersarafinya dan
akan mengalami replikasi dan multiplikasi serta menimbulkan lesi.
2. Virus
secara terus menerus dilepaskan ke sel epitel dan adanya faktor pensetus ini
menyebabkan kelemahan setempat dan menimbulkan lesi rekurens.
E. Gejala klinis
Manifestasi klinik
dapat dipengaruhi oleh faktor herpes pajanan HSV sebelumnya. Episode tedahulu
dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat
lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat berat, tetapi bisa juga
asimtomatik terutama bila lesi ditemukan pada daerah serviks. Pada penelitian
retrospektif 50-70% infeksi HSV-2 adalah asimtomatik.
Infeksi HSV ini berlangsung dalam 3 tingkat :
1. Infeksi
primer
Tempat prediksi HSV tipe I
di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan hidung, biasanya
dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya
kontak kulit pada perawat, dokter gigi atau pada orang yang sering menggigit
jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga sebagai penyebab herpes
ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV tipe II mempunyai tempat prediksi di
daerah pinggang ke bawah, terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan
herpes meningitis dan infeksi neonatus.
Pada infeksi inisial
gejalanya lebih berat dan berlangsung lebih lama dan berat kira-kira 3
minggu. Biasanya di dahului rasa terbakar dan gatal di daerah lesi yang terjadi
beberapa jam sebelum timbulnya lesi. Setelah lesi timbul dapat diserta gejala
konstitusi seperti malaise, demam dan nyeri otot. Lesi pada kulit berbentuk
vesikel yang berkelompok dengan dasar eriterm. Vesikel ini mudah pecah
dan menimbulkan erosi multiple. Tanpa infeksi sekunder, penyembuhan terjadi
dalam waktu lima sampai tujuh hari dan tidak terjadi jaringan parut, tetapi
bila ada, penyembuhan memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan
parut.
Klenjar limfe regional dapat
membesar dan nyeri pada perabaan. Infeksi di saerah serviks, dapat menimbulkan
beberapa perubahan termasuk peradangan difus, ulkus multiple sampai terjadinya
ulkus yang besar dan nekrotik. Tetapi dapat juga tanpa gejala klinis. Pada saat
pertama kali timbul, penyembuhan memerlukan waktu yang cukup lama, dapat dua
sampai empat minggu, sedangkan pada serangan berikutnya penyembuhan akan lebih
cepat. Disamping itu pada infeksi pertama dapat terjadi disuria bila lesi
terdapat di daerah uretra dan periuretra, sehingga dapat menimbulkan mielitis
dan radikulitis.
2. Infeksi
Laten
Fase ini berarti penderita
tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak
aktif dalam ganglion dorsalis.
3. Infeksi
Rekurens
Infeksi ini berarti HSV pada
ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi
aktif dan mencapai kilit sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu
dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual dan
sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan
dapat pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang. Infeksi
rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat
lain/tempat li sekitarnya (non loco).
Infeksi rekures dapat
terjadi dengan cepat/lambat, sedangkan gejala yang timbul biasanya lebih ringan
kira-kira 7-10 hari, karena telah ada antibodi spesifik dan penyembuhan juga
akan lebih cepat. Sebagaimana telah disebutkan di atas, infeksi inisial dan
rekurensi selain disertai gejala klinis bisa tanpa gejala. Hal ini dapat
dibuktikan dengan ditemukannya antibodi terhadap HSV-2 pada orang yang tidak
ada riwayat penyakit herpes genitalis sebelumnya. Adanya antibodi terhadap
HSV-1 menyebabkan infeksi HSV-1 lebih ringan. Hal ini memungkinkan infeksi
inisial HSV-2 berjalan asimtomatik pada penderita yang pernah mendapat infeksi
HSV-1.
Tempat predileksi pada pria
biasanya di preputium, glans penis, batang penis, dapat juga di uretra dan
daerah anal (pada homoseks),sedangkan daerah skrotum jarang terkena. Lesi pada
wanita dapat ditemukan di daerah labia major/minor, klitoris, introitus
vaginae, serviks, sedangkan pada daerah perianal, bokong dan mons pubis jarang
ditemukan. Infeksi pada wanita sering dihubungkan dengan servisitis, karena itu
perlu pemeriksaan sitologi secara teratur.
F. Penatalaksanaan
Setelah diagnosi ditegakkan,
baik secara klinis, dengan maupun tanpa pemeriksaan penunjang, maka langkah selanjutnya
adalah memberikan pengobatan. Pengobatan dapat dibagi menjadi tiga kategori
yaitu profilaksis, pengobatan non-spesifik dan pengobatan spesifik.
1.
Tindakan Prolaksis
a) Penderita
diberi penerangan tentang sifat penyakit yang dapat menulat terutama bila
sedang terkene serangan, karena itu sebaiknya melaksanakan abstinensia.
b) Proteksi
individual. Digunakan dua macam alat perintang, yaitu busa spermisidal dan
kondom. Komninasi tersebujt, bila diikuti dengan pencucian alat kelamin memakai
air dan sabun pasca koitus, dapat mencegah transmisi herpes genitalis hampir
100% (Raab dan Lorincz, 1981). Busa supermisidal secara in vitro ternyata
mempunyai sifat virisidal, dan kondom dapat mengurangi penetrasi virus.
c) Faktor-faktor
pencetus sedapat mungkin dihindari.
d) Konsultasi
psikiatrik dapat dapat membantu karena faktor psikis mempunyai oeranan untuk
timbunya serangan.
2. Pengobatan non-spesifik
a) Rasa nyeri
dan gejala lain bervariasi, sehingga pemberian analgetika, antipretik dan
antipruritus disesuaikan dengan kebutuhan individual.
b) Zat-zat
pengering yang berisifat antiseptik, seperti jodium povidon secara topikal
mengeringkan lesi, mencegah infeksi sekunder dan mempercepat waktu penyembuhan.
c) Antibiotika
atau kontrimoksasol dapat diberikan untuk mencegah infeksi sekunder.
3.Pengobatan Spesifik
Berbagai macam obat
antivirus telah pernah dipakai untuk mengatasi penyakit herpes genitalis,
misalnya idoksuridin topikal, sitarabin (Ara-C) dan Viradabin (Ara-A) secara
intravena, inosipleks (isoprinosin), dan interferon. Obat antivirus yang kini
telah banyak dipakai ialah asiklovir, dan saat ini ada lagi 2 macam
obat antivirus baru yaitu valasiklovir dan famsiklovir.
a.
Asiklovir
Asiklovir merupakan obat
antivirus yang spesifik terhadap virus herpes, dapat diberikan pada penderita
dengan infeksi mukokotan disertai defisiensi imunitas. Obat ini hanya bekerja
pada sel-sel yang terkena infeksi. Tidak mempunyai efek teratogenik. Toleransi
obat bai, tidak ada toksisitasa akut dan tidak menimbulkan penekanana sumsum
tulang, hati dan ginjal. Tetapi walaupun demikian pernah dilaporkan efek
samping seperti kolik ginjal, kenaikan kadar ureum/ kreatinin dalam serum,
reaksi setempat pada suntikan nausea dan vomitus.
Asiklovir dapat diberikan
secara intravena, oral dan topikal. Cara pemberian intravena harus
perlahan-lahan dan perlu pengawasan. Oleh karena itu ssebaiknya diberikan di
rumah sakit. Dosis setiap kali pemberian adalah 5 mg/kgBB, dengan interval 8
jam. Pengobatan asiklovir secara intravena pada herpes genital episode pertama,
yang memerlukan waktu selama 5-10 hari. Ternyata tidak dapat mengurangi
rekurensi (Corey DKK, 1985). Bila secara oral diberikan dengan dosis 200 mg 5
kali sehari selama 5-10 hari. Seperti secara intravena, pengobatan per oral
mengurangi viral shedding secara dramatis.
Banyak sarjana berpendapat
bahwa pada infeksi primer sebaiknya diberi asiklovir secara intravena dan pada
infeksi rekurens diberikan secara oral. Pembrian obat secara oral juga
tidak menjamin tidak timbul rekurensi. Kinghorn dkk (1986) telah membuktikan
bahwa asiklovir 200 mg lima kali sehari per oral ditambah kotromoksazol (160 mg
dan 800 mg sulfametoksazol) dua kali sehari selama 7 hari memperpendek waktu
penyembuhan lesi secara bermakna dibandingkan dengan pengobatan asiklovir saja.
Penanganan infeksi rekurens
menurut Moreland dkk (1990) dapat ditempuh dengan 4 cara:
1.
Tidak diberi terapi spesifik (terutama pada infeksi yang ringan)
2.
Asiklovir peroral secara episodik dengan dosis 5x200 nm/ hari selama 5
hari. Cara ini diberikan pada penderita dengan riwayat lesi multiple atau
serangan yang lama (7 hari)
3.
Supresi kronis asiklovir, dapat dipertimbangkan bila seseorang mengalami
keadaan sebagai berikut :
a.
Rekurensi lebih dari 8 kali per tahun.
b.
Rekurensi lebih dari 1 kali per bulan.
c.
Rekurensi menimbulkan beban psikologis yang berat .
d.
Bila terapi dirasakan lebih bermanfaat dibandingkan biaya untuk penderita
tersebut.
Dosis asiklovir yang di
berikan minimal 2 x 200 mg/hari dan dapat ditinggikan sampai 3-4 x 200 mg/hari
tergantung pada keadaan. Cara ini efektif dan aman untuk jangkam waktu minimal
1 tahun, dengan penilaian ulang setiap 6 bulan.
4.
Supresi episodik dengan asiklovir, diberikan pada individu dengan
rekurensi terutama bila ada stress.
Asiklovir topikal diberikan
dalam bentuk krim 5%. Obat ini bekerja langsung pada sel yang terinfeksi serta
memperpendek viral shedding . Efek toksiknya sangat minimal,
absorbsinya minimal dan tidak mengadakan interaksi dengan obat lain yang
digunkan secra bersamaan. Selain itu juga data mengurangi rasa nyeri dan gatal.
Karena hasilnya kurang efektif dibandingkan dengan pemberian secara oral, maka
pemakaiannya hanya untuk mengurangi keparahan dan lamanya episode rekurens.
b. Valasiklovir
Obat ini merupakan derivat
ester L-valil dari asiklovir. Bahan iktif antivirusnya ialah asiklovir,
sehingga kemanjuran dan spesifitasnya berhubungan dengan cara kerja asiklovir.
Setelah diabsorbsi, valasiklovir dengan cepat dan hampir seluruhnya, diubah
menjadi asiklovir dan L-valin. Bioavailabilitasnya 3-5 kali lebih tonggi dari
pada yang dapat dicapai oleh asiklovir oral dosis tinggi. kadar dalam plasma
setelah valasiklovir oral 1000 mg mendekati kadar yang dapat dicapai oleh
asiklovir yang diberikan secara intravena.
Pada uji klinik yang
membandingkan valasiklovir 2 x 500 mg/hari, dengan asiklovir oral 5 x 200
mg/hari, dan plasebo dalam waktu 24 jam setelah timbulnya keluhan dan gejala
klinis pertama episode herpes genitalis rekurens menunjukkan bahwa terapi
valasiklovir secara bermakna mengurangi rasa nyeri dan mempercepat penyembuhan
lesi serta dengan cepat memperpendek masa viral shedding. Efek
samping yang paling sering dilaporkan ialah nyeri kepala dan mual.
c. Famsiklovir
Obat intivirus yang baru
lain ialah famsiklovir (famciclovir) yang merupakan derivat diasetil-6-deoksi
pensiklovir. Sedangkan pensiklovir sendiri merupakan golongan antivirus dengan
komponen guanin, yang dapat diberikan secara topikal dan intravena.
Famsiklovir, dikembangkan untuk pengobatan infeksi virus herpes, dengan cara
pemberian per oral. Cara kerja Famsiklovir sama seperti asiklovir, yaitu
menghambat sintesis DNA.
Pada penderita herpes
genitalis episode pertama, pemberian famsiklovir 3 kali 500 mg pe hari selama 5
hari, ternyata mempersingkatviral shedding dan waktu penyembuhan,
dibandingkan plasebo. Bila dibandingkan dengan pengobatan asiklovir 5 x 200
mg/hari selama 5 hari, pemberian famsiklovir 3x 750 mg/hari dalam waktu yang
sama, secara statistik tidak menunjukkan oerbedaan dalam lamanya viral
shedding, waktu menghilangnya vesikel dan ulkus, serte terjadinya krustasi
dan hilangnya rasa sakit.
Ø Penatalaksanaan
Wanita Hamil Dengan Herpes Genitalis
Wanita hamil yang menderita
herpes genitalis primer dalam 6 minggu terakhir masa kehamilannya dianjurkan
untuk dilakukan seksio sesarea sebelum atau dalam 4 jam sesudah pecahnya
ketuban. Seksio sesarea tidak dilakukan secara rutin pada wanita yang mendeeita
herpes genitalis rekurens. Hanya wanita dengan viral shedding pad
saat atau hampir melahirkan memerlukan seksio sesarea. Disarankan untuk melakukan
pemeriksaan virologik dan sitologik sejak kehamilan 32 dan 36 minggu. Setelah
itu sekurang-kurangnya dilakukan kultur sekret serviks dan genetalia eksterna.
Bila kultur virus yang di inkubasi minimal 4 hari,memberikan hasil negatif 2
kali berturut-turut, serta tidak ada lesi genital pada saat melahirkan maka
dapat diannjurkan partus per vaginam.
Kontak yang lama dengan
sekret yang infeksius, secara relatif dapat meningkatkan resiko penularan
penyakit. Oleh karena itu banyak penulis menganjurkan, sebaiknya seksio sesarea
dilakukan sebelum atau dalam 4 jam sesudah ketuban pecah untuk mencegah bayi
idtulari.
Pemberian asiklovir pada
wanita hamil dapat dipertimbangkan, terutama pada infekdi primer. Pada
pertemuan International Herpes Management Forum di San Fransisco AS November
1994, telah disetujuipenatalaksanaan herpes genitalis pada wanita hamil dengan
mempertimbangkan apakah merupakan infeksi primer atau rekurens, serta usia
kehamilan. Episode awal herpes genitalis pada kehamilan dengan gejala yang berat,
dianjurkan untuk diberikan Asiklovir oral 5 x 200 mg/hari selama 7-10 hari.
Asiklovir oral dosis supresif secara rutin tidak dianjurkan untuk herpes.
Genitalis rekurens selama kehmilan atau dekat dengan akhir kehamilan.
Ø Penatalaksanaan
Bayi Lahir dari Ibu dengan Herpes Genitalis
Banyak rumah sakit yang
menganjurka isolasi untuk bayi yang lahir dari ibu dengan herpes genitalis.
Kultur virus, pemeriksaan fungsi hati dan cairan cerebrospinal harus dilakukan.
Serta bayi harus diawasi ketat selama satu bulan pertama kehidupannya. Spesimen
untuk pemeriksaan kultur virus diambil dari konjuntiva, umbilikus, nasofaring,
dan setiap lesi kulit yang dicurigai pada 24-48 jam pertama.
Bila ibu mengidap herpes
genitalis primer pada saat persalinan per vaginam, harus diberikan profilaksis
asiklovir intravena kepada bayi selama 5-7 hari dengan dosis 3 x 10
mg/kgBB/hari.
Infeksi herpes simpleks pada
neonatus prognosisnya buruk bila tidak di obati. Penelitian pengobatan dengan
asiklovir 10 mg/kgBB tiap 8 jam selama 10-21 hari, atau Ara-A 30 mg/kgBB/hari
menurunkan angka kematian dibandingkan dengan penderita yang tidak mendapat
pengobatan. Cara pengobatan ini juga dapat mencegah progresivitas penyakit
(infeksi herpes pada sususnan saraf pusat atau infeksi diseminata). Oleh karena
itu identifikasi lesi kulit sangat penting untuik menentukan ada/tidaknya
infeksi HSV pada neonatus.
Ø Penatalaksanaan
Herpes Genitalis pada Immunocompromised
Pada penderita Immunocompromised.
Pengobatan infeksi herpes simpleks memerlukan waktu yang lebih lama. Asiklovir
oral dapat diberikan dengan dosis 5 x 200 mg – 400 mg/hari selama 5-10 hari.
Pada yang beresiko tinggi untuk menjadi diseminata, atau yang tidak dapat
menerima pengobatan oral, mka asiklovir diberikan secara intravena 3 x 5 mg/kgBB/hari
selama 7-14 hari. Bila terdapat bukti terjadinya infeksi sinstemik dianjurkan
terapi asiklovir intravena 3 x 10 mg/kgBB/hari selama paling sedikit 10 hari.
Oeh karena pada keadaan
tersebut lebih sering terjadi rekurensi pengobatan supresif lebih dianjurkan,
dengan dosis asiklovir paling sedikit harus 2 x 400 mg/hari hingga keadaan
Immunocompromisnya hilang (jika mungkin).
Untuk penderita infeksi HIV
simtomatik atau AIDS, digunakan asiklovir oral 4-5 x 400 mgg/hari hingga lesi
sembuh, setelah itu dapat diberikan terapi supresif.
G. Penyebaran Penyakit Herpes Simpleks
dilihat dari Aspek Budaya
Penyakit herpes simpleks
yang merupakan penyakit kelamin ini terdapat banyak di negara manapun juga,
baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju dan tersebar luas
pada semua lapisan masyarakat baik yang miskin maupun yang kaya. Banyaknya
penyakit kelamin dalam masyarakat, mencerminkan keadaan sosial penderita karena
sebagian besar tergantung pada tingkah laku manusia, faktor psikologis dan keadaan
sosio ekonominya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit herpes simpleks ini
diantaranya :
1. Faktor
dasar
a.
Adanya penularan penyakit
b.
Berganti-ganti pasangan seksual
2. Faktro
medis
a.
Gejala klinis pada wanita dan homoseksual yang asimtomatis
b.
Pengobatan modern
c.
Pengolahan yang mudah, murah, cepat dan efektif, sehingga risiko
resistensi tinggi, dan bila disalahgunakan akan meninggalkan risiko penyebaran
infeksi.
3. Alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dan pil KB hanya bermanfaat bagi pencegahan
kehamilannya saja, berbeda dengan kondom yang juga ddapat digunakan sebagai
alat pencegahan terhadap penularannya
4. Faktor
sosial
a.
Mobilitas penuduk yang bertambah
b.
Prostitusi
c.
Waktu yang santai
d.
Kebebasan inidvidu
e.
Ketidaktahuan
f.
Peledakan jumlah penduduk
g.
Kemajuan sosial ekonomi terutama dalam bidang industri yang menyebabkan
lebih banyak kebebasan sosial maupun kebebasan seks.
5. Perubahan
sikap terutama dalam bidang agama dan moral akibat perubahan demografik
6. Kelalaian
dalam memberikan pendidikan seks.
7. Perasaan
aman karena kemudahan mendapatkan obat dan alat kontrasepsi.
8. Fasilitas
kesehatan yang kurang memadai
9. Banyak
kasus yang tidak memberikan gejala tetapi dapat menular kepada orang lain.
10. Kurangnya
informasi tentang penularan penyakit Herpes di masyarakat dan juga bahaya-bahaya
penyakit kelamin baik untuk dirinya maupun keturunannya.
H. Herpes Genitalis pada
Imunodefisiensi
Herpes genitalis merupakan
satu masalah pada penderita dengan imunodefisiensi, oleh karena kelainan yang
ditemukan cukup progresif berupa ulkus yang dalam di daerah anogenital.
Disamping itu lesi juga lebih luas dibandingkan dengan keadaan biasanya. Pada
keadaan imunodfisiesnsi yang tidak berat didapatkan keluhan rekurensi yang
lebih lama.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling
ditakutkan adalah akibat penyakit ini pada bayi yang baru lahir. Herpes
genitalis pada permulaan kehamilan bisa menimbulkan abortus/malformasi
kongenital berupa mikrosefali. Pada bayi yang lahir pada ibu yang
menderita herpes genitalis pada kehamilan dapat ditemukan kelainan berupa
hepatitis, infeksi berat, ensefalitis, keratokunjungtivitis, erupsi kulit
berupa vesikel herpetiformis dan bahkan bisa lahir mati.
Pada
orang tua, hepatitis karena HSV jarang ditemukan, sedangkan meningitis dan
ensefalitis pernah dilaporkan. Pada orang tua meningitis hepatika biasanya
disebabkan oleh HSV-2 sedangkan ensefalitis oleh HSV-1. Disamping itu juga
ditemukan hipersensitivitas terhadap virus, sehingga timnul reaksi pada kulit
berupa eritema eksudativum multiforme. Dapat juga timbul ketakutan dan depresi
terutama bila terjadi salah penanganan pada penderita.
Perasaan
Dari Segi Psikologis Pasien
1. Kemarahan/Marah,
rageful, atau perasaan dendam kepada diri sendiri dan orang lain bahkan kepada
Tuhan.
2. Depresi
Merasa sedih, putus asa, dan / atau tak berdaya, dan memiliki harga diri yang
rendah, kadang-kadang disertai oleh perubahan dalam makan, tidur, kebiasaan
olahraga, pekerjaan, dan sosial.
3. Menyalahkan
diri sendiri
4. Ketakutan
5. Berusaha
menyembunyikan penyakitnya dari orang lain.
Masalah psikologis seperti
tersebut, akan sangat memperburuk kondisi dan juga dapat memperburuk sebuah
hubungan seksual pada pasangan suami istri, karena adanya kecemasan. Hal
ini merupakan konsekuensi yang sangat penting secara psikologis perselisihan
seksual dan setiap penghentian dari seks dapat membawa tekanan besar untuk
hubungan yang mengarah ke perpisahan. Situasi tersebut dapat lebih
diperparah oleh kebohongan, dalam mayoritas orang yang menderita herpes genital
akan menggunakan alasan untuk tidak berhubungan seks daripada mengakui
kebenaran bahwa mereka dipengaruhi oleh kondisi tersebut.
I. Peran Bidan dalam Menangani Pasien
yang Terserang Herpes
Komunikasi yang baik dan
keterampilan konseling memainkan bagian penting dalam pengelolaan semua jenis
kesulitan pasien, untuk pasien dengan herpes kelamin, atau infeksi menular
seksual lainnya.
Sejumlah penelitian telah
menetapkan pentingnya hubungan antara perawat dan pasien ketika mengelola
dampak psikologis dari herpes genital.Pedoman ini berfokus pada peran konseling
dan komunikasi yang baik dalam manajemen optimal dari pasien dengan herpes
genital.
Perspektif
pasien
Tidak mengherankan, ada
tingkat yang sangat tinggi morbiditas psikologis yang terkait dengan herpes
kelamin, yang perlu ditangani ketika mengelola aspek-aspek medis dari
penyakit. Bagi banyak orang, diagnosis herpes kelamin adalah berita
terburuk yang pernah mereka terima.Sementara respon bervariasi, pasien biasanya
mengalami kejutan, kemarahan, rasa malu, rasa bersalah dan ketakutan.
Perhatian utama adalah
dampak potensial penyakit yang akan timbul pada kehidupan. Seperti bagaimana
mereka akan memberitahu teman-teman mereka, keluarga dan pasangan seksual,
bagaimana mereka akan dilihat oleh mereka, apakah mereka akan ditolak, takut
menulari orang lain, dan takut yang pernah dapat hidup "normal"
kehidupan, bentuk hubungan yang langgeng dan memiliki sebuah keluarga.
Banyak orang bahkan takut
konsultasi dengan dokter, khawatir bahwa mereka akan dinilai sebagai kotor atau
promiscuous.
Tujuan
konseling
Konseling merupakan bagian
integral dari keberhasilan pengelolaan pasien dengan herpes dan memiliki
sejumlah tujuan yang jelas. Tujuan yang luas adalah jika pasien menerima
bahwa herpes adalah bukan "hukuman" melainkan suatu kondisi medis yang
relatif umum, yang dapat dikelola berhasil untuk meminimalkan dampak negatif
pada kehidupan mereka.
Secara khusus, tujuan konseling adalah:
a) Untuk
menjalin hubungan dengan pasien, sesuai dengan pengobatan, sehingga dari hari
ke hari manajemen pemulihan dapat ditingkatkan
b) Untuk
memberikan informasi dan pendidikan tentang herpes, prevalensi misalnya,
transmisi, rekuren, mencegah infeksi lain, pilihan pengobatan dan jaringan
pendukung.
c) Untuk
meminimalkan sequela psikologis, yang biasanya merupakan hasil dari kondisi
kronis, termasuk libido berkurang, kehilangan diri, harga diri rendah dan
kecemasan tentang transmisi, rincian kemungkinan hubungan, depresi dan rasa
bersalah yang ekstrim.
d) Untuk
membantu proses menginformasikan mitra pasien.
e) Untuk tahu
kapan untuk merujuk pasien pada terapi psikologis untuk lebih intensif, dan
f) Mengklarifikasi
isu seputar transmisi yang dapat mempengaruhi hubungan seksual saat ini,
menumpahkan gejala misalnya
Aturan konseling pasien herpes kelamin
1.
Memiliki lingkungan yang tepat
2.
Memiliki sikap yang tepat.
Perawat harus menunjukkan
sikap peduli, meminta pasien membuka, tidak menghakimi pertanyaan dan bertujuan
untuk mengembangkan kepercayaan pasien. Mencoba untuk membayangkan diri
anda jika berada pada posisi seperti pasien dapat membantu untuk membangun
empati. Pertimbangkan konsultasi sebagai kesempatan untuk secara terbuka
jelajahi semua masalah-baik yang relevan medis dan psikologis-sehingga pasien
memiliki kesempatan terbaik untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
manajemen utama.
Hal ini penting untuk
memiliki keseimbangan antara kebutuhan untuk mendapatkan fakta-fakta dan
memberikan saran dan kebutuhan untuk mengembangkan hubungan yang terbuka dan
saling percaya. Waktu yang memadai harus diberikankan untuk menutupi poin
kunci yang relevan pada konsultasi awal (misalnya berurusan dengan shock
menerima diagnosis atau mengelola gejala-gejala fisik) dengan fakta lain dan
isu yang dibahas pada konsultasi-konsultasi berikutnya.
3.
Menyediakan informasi yang tepat
Sebuah aspek utama dari konseling pasien herpes kelamin misalnya seperti
menghilangkan mitos dan memberikan informasi yang jelas dan akurat tentang
sifat dan pengelolaan penyakit. Ini harus disediakan baik secara lisan
maupun tertulis. Ada beberapa sumber yang tersedia saat ini. Diantaranya
harus mencakup:
Ø
Sifat klinis dan sejarah alam dari penyakit
(misalnya infeksi,
pembentukan latency, gejala, diagnosa, frekuensi dan keparahan kekambuhan,
prodromes, transmisi, menumpahkan gejala, sifat kronis penyakit dll)
Ø Pengobatan
pilihan (termasuk pendekatan yang berbeda untuk terapi antivirus);
Ø Kemungkinan
pemicu dan cara menghindarinya
Ø Manajemen
saran gaya hidup (diet, olahraga, stres dll manajemen)
Ø Praktik
seks aman dan menghindari transmisi
Ø Prevalensi
penyakit (mereka tidak sendirian)
Ø Hubungan Herpes
dan kehamilan
Ø Strategi
untuk menginformasikan, dan
Ø Pilihan
untuk spesialis / konseling yang sedang berlangsung, kelompok herpes dukungan,
informasi lebih lanjut dll.
4.
Mengatakan dan melakukan hal yang benar
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah
diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak sekali faktor-faktor yang
mempengaruhi penyebaran penyakit herpes simpleks. Baik itu dari aspek medis
maupun dari aspek sosial budaya. Seseorang atau pasien yang sedang menderita
penyakit ini akan mengalami dampak psikologis di dalam dirinya, seperti :
1. Kemarahan/Marah,
rageful, atau perasaan dendam kepada diri sendiri dan orang lain bahkan kepada
Tuhan.
2. Depresi
Merasa sedih, putus asa, dan / atau tak berdaya, dan memiliki harga diri yang
rendah, kadang-kadang disertai oleh perubahan dalam makan, tidur, kebiasaan
olahraga, pekerjaan, dan sosial.
3. Menyalahkan
diri sendiri
4. Ketakutan
dan
5. Berusaha
menyembunyikan penyakitnya dari orang lain.
Oleh karena itu, peran
perawat dalam hal ini memiliki hubungan yang sangat penting. Disamping membantu
memberikan pengobatan, perawat juga bisa membantu memberikan konseling kepada
pasien untuk mengurangi beban psikologis yang dihadapinya. Selain itu perawat
juga bisa memberikan informasi atau penyuluhan kepada masyarakat mengenai
bagaimana penyebaran penyakit Herpes Simpleks ini, juga bahayanya jika di
derita oleh ibu yang sedang hamil. Karena akan menginfeksi pada bayi yang
sedang dikandungnya. Perawat juga bisa memberi informasi mengenai bagaimana
cara penanganannya. Dengan demikian diharapkan penyebaran penyakit ini dapat
diminimalisir, dan akan menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit Herpes
Simpleks.
B. Saran
Pemberian konseling
kepada pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks harus perlu dilakukan
perawat untuk mengurangi penyebaran dari penyakit ini.
Kita sebagai perawat
harus memberi penyuluhan kepada masyarakat agar berhati-hati, karena seorang
wanita yang hamil dan menderita penyakit Herpes akan memberikan dampak kepada
bayi yang dikandungnya.
DAFTAR PUSTAKA
Utama,
Hendra. 2007. Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Djuanda,
Adhi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
PUSDIKNAKES.
1997. Aids dan Penanggulangannya. Jakarta: Studio Driya Media.
Entjang,
Indan. 1991. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Shryock,
Harold M.d. 2000. Modern Medical Guide. U.S.A: Review and Herald
Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar